Sabtu, 27 Februari 2016

Bangga Jadi Warga Indonesia, Tapi . . .

Tamara Shogaolu, seorang sutradara kebangsaan Amerika ini begitu inspiratif. Saya mengenalnya di acara Indonesia International Film Festival (INEFFEST) 2013 sebagai seorang seorang mentor. Hubungan kami begitu baik, khususnya saya yang saat itu mendapat tugas sebagai sutradara kelompok. Tak terhenti di situ, September lalu ia sempat menjadi mentor saya saat saya mendaftar internship perfilman di Amerika.


Sosoknya yang begitu ramah, inspiratif dan bersemangat membuat saya kagum. Yang lebih mengagumkan, dibalik kebangsaan Amerika yang ia sandang, ia sangat amat mencintai budaya Indonesia. Saya masih ingat betul, Oktober lalu saya ikut hadir di World Premiere film pendek yang ia release di Pacific Place, Jakarta.



Dian,film pendek yang bukan sekedar film pendek. Disutradarai oleh Tamara, film bernuansakan budaya Jawa yang begitu kental dikemas dengan cerita yang bener-bener keren. Pas filmnya selesai pun, saya dan penonton lainnya masih ‘ketagihan’. Kita mau durasi yang lebih lama! Pemainnya pun bukan sembarangan. Prisia Nasution, siapa sih yang ga kenal artis cantik berbakat ini? Prisia sukses memainkan peran Dian yang lekat di hati saya.


Kerennya budaya kita yang sampe membuat Tamara dan rekan-rekannya membuat film ini. Bangga jadi warga Indonesia, tapi, apa kita bisa menghargai budaya kita dengan mengaplikasikannya di dunia seni sebaik Tamara? Menyatukan hati dan budaya.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Beberapa hari lalu waktu nonton Net TV, ga sengaja saya liat sekilas tayangan film “Sri Ngilang (The Disappearance of Sri)”. Itu film apa si? Saya yang penasaran pun langsung buka YouTube. Film ini adalah film yang idenya cukup simple buat saya, tapi dikemas begitu apik. Yang bikin unik, film ini dibuat dan dimainkan oleh para mahasiswa seni budaya Jawa di salah satu universitas di Australia. Kabarnya, memang di universitas itu terdapat jurusan yang khusus mempelajari bahasa Jawa.


Luar biasa! Cuma itu kata-kata yang terucap di hati saya. Gimana ga keren? orang luar mempelajari bahasa daerah kita. Bukan cuma sekedar dipelajarai, tapi diterapkan. Bukan Cuma bahasa nya aja, tapi juga budaya nya. Selama film tersebut, saya perhatiin setting tempat, pakaian, logat, bahasa tubuh, bahkan uang rupiah kita pun ada di sana loh . Selama menonton fim berdurasi 27 menit tersebut, saya dibuat terkagum-kagum bukan main, bisa ya mereka mengemas sebuah ide yang sederhana seapik itu.

Keren ya budaya kita yang sampe membuat kawan-kawan negara tetangga kita mau belajar dan menciptakan karya seni dari budaya negara kita. Bangga jadi warga Indonesia, tapi, apa kita bisa ya menjadikan budaya itu bagian yang ga lekang dimakan jaman, dipelajari dengan tekun dan dihidupkan di tiap hati kita? Kapan ya terakhir kali kita belajar bahasa daerah kita? Hmmm

"Sri Ngilang" is a language learning exercise for foreign students of elementary Javanese. By performing the play students visualise and practise the complex respect levels of everyday Javanese and learn a little of Java’s music culture and melodramatic theatre. Javanese is one of 14 Asian languages offered at the Australian National University

Ada lagi yang patut kita renungkan. Kenapa mereka mau belajar bahasa daerah kita dengan segala kebudayaan lainnya? Pasti ada tujuannya. Entah itu dilihat dari sudut pandang ekonomi atau nilai estetika seni itu sendiri. intinya, mereka bisa selangkah atau jauh beberapa langkah di depan kita. Nah loh, ketinggalan lagi kan! Ayo mulai berpikir!


0 komentar:

Posting Komentar