Selasa, 08 Oktober 2019

The Growth #7: Untukmu Para Pejuang Toga


Bismillaahirrahmaanirrahiim...

Memasuki semester 7 rasanya seperti permen nano-nano, rame rasanya, hehe. Ada rasa senang, sedih, takut, bingung, khawatir dll. Terlebih bagi kamu yang sudah semester 9 dan seterusnya, tidak dapat dipungkiri bahwa rasanya ada beban tambahan karena tidak mau disebut mahasiswa abadi, apalagi kalau sampai benar-benar menjadi mahasiswa abadi, hmmm. Sebagian ada yang kemudian berpikir: “Nikahin aku aja. Aku sudah tidak kuat”. But wait, menikah bukanlah akhir, tapi menjadi awal perjalanan baru. Apalagi bagi laki-laki, kalimat “Nikahin aku aja” rasanya tidak cocok ya, hehe. 

Lainnya mungkin baru masuk semester 5, di mana dosen mulai menyarankanmu rajin-rajin membaca jurnal atau mencari ide untuk judul skripsi agar nanti (katanya) tidak bingung lagi, padahal sedang jenuh-jenuhnya kuliah. Yang masih semester 3 mulai disibukkan dengan tugas kuliah yang semakin banyak atau pilihan berorganisasi dan kegiatan lainnya. Sementara maba, kini sudah mulai tahap penyesuaian dengan ritme perkuliahan yang berbeda dengan masa sekolah. 

Ternyata, semuanya punya perjalanan yang seru ya! The jungle called campus lyfe. Untukmu, pejuang toga, yang gelar sarjana (sampai saat ini masih) menjadi nilai tambah di dunia kerja atau di depan calon mertua, hehe. Melalui tulisan ini, aku yang baru saja kemarin (alhamdulillah alladzii bini’matihii tatimmushalihat), biidznillah, telah menyelesaikan masa-masa penelitian skripsi, sidang, sampai selesai revisi dan menunggu jadwal resepsi (resepsi wisuda maksudnya), aku akan membagikan beberapa catatan yang mungkin akan bermanfaat untukmu, para pejuang toga.

Catatan ini diambil berdasarkan pembelajaran yang aku dapatkan, yang rasanya sayang jika aku simpan sendirian. Anyway, untukmu, para pembaca yang mungkin juga sudah lulus, bila ingin menambahkan tulisan ini, silakan isi di kolom komentar di bawah ya. Pun kalau kamu punya pertanyaan lainnya terkait catatan ini. Jangan ragu untuk isi kolom komentar.

Ok, here we go!

1. Skripsi itu tidak selalu dimulai dari masalah

“Cari masalah! agar kita mampu menghadirkan solusi lewat apa yang kita teliti”, kalimat tidak asing ini biasanya datang dari dosen. Yang aku pun sepakat. Ya, sepakat. Tapi, ga jarang dari kita kemudian berucap dalam hati: “nyari masalah hidup si gampang, tapi kalau masalah untuk masuk penelitian, tidak mudah”. Banyak juga yang seketika ‘nge-blank’, gak tahu sama sekali harus cari masalah apa. Kita mulai berpikir -only in the box-, terjebak, dan ada loh yang akhirnya mundur sebelum berperang.

Well, my friends, perlu kita ketahui bahwa dalam penelitian skripsi, gak semua harus dimulai dari masalah. Tapi bisa gunakan yang lebih general, yaitu “why” nya, dari dalam diri kamu.  Alasan personal kenapa kamu mau buat suatu penelitian, rasa ingin tahu kamu akan suatu hal, kondisi masa depan yang kamu ingin kamu sampaikan, yang menantang dan hanya bisa didapatkan lewat penelitian. Tentu saja hal ini harus kita kaitkan dengan topik penelitian yang relevan. 

Aku sendiri saat itu memiliki 3 opsi yang kupilih dari 6 topik yang disediakan: Manajemen Strategi, Studi Kelayakan Bisnis, dan, Pemasaran. Ketiganya kupilih karena aku ingin tahu bagaimana Manajemen Strategi, Studi Kelayakan Bisnis ataupun Pemasaran dapat berpengaruh pada masa depan objek penelitian, yang saat itu objek yang kumau adalah usahaku sendiri. Jadi, ga selalu harus dari masalah ya :)

2.  Buat "Strong Why" dan siapkan opsi lain sebagai alternatif

Penolakan itu biasa. Tapi tetap bisa diantisipasi dari tahapan pertama. Itulah kenapa dari awal kita harus punya “strong why” kenapa penelitian ini layak, atau malah, layak banget dilakukan. Pelajari, observasi dan ukur kemungkinan diterimanya. Perhatikan ‘dos and donts’ dari aturan kampus kamu. Biar gak salah langkah.

Umumnya, kalau kita mau lakukan penelitian dengan objek yang sama (dengan penelitian sebelumnya), lokasi yang sama, tahun yang sama, apalagi semuanya sama, itu akan ditolak, hehe. Logikanya, itu udah diteliti, terus kenapa gitu harus diteliti lagi? tapi seketika penolakan ini bisa berubah menjadi penerimaan saat kamu bisa sampaikan perbedaan versi kamu. Misalnya, bila lokasi penelitian sebelumnya hanya di Jabodetabek, penelitianmu sampai ke 5 negara Asia. *eh maa syaa Allah, kece banget!

Tapi jangan lupa untuk bersiap diri kalaupun apa yang kita mau tidak bisa direalisasikan. Kemarin, saat mengajukan judul dengan objek usaha sendiri, aku dari awal sudah mempersiapkan yang terburuk. Kalau objek ini ditolak, aku sudah mempersiapkan objek lainnya. Santuy! Gak baper! hehe

3. Bangun support system

Support sistem dimulai dari menjaga dan memperbaiki hubungan yang sudah ada, yaitu hubungan dirimu dengan hatimu, hubunganmu dengan Allah dan hubunganmu dengan keluarga serta rekan kerja (bila bekerja). Jujur, ini yang paling krusial. Karena ini pondasi terkuat yang akan sangat menopang kita kedepannya. Karena itu, mulailah perbaiki diri, mengatur emosi, perbaiki shalat dan ibadah kita, serta banyak-banyak lakukan hal baik dalam keluarga dan pada kolega. Sesekali membantu pekerjaan di rumah atau ciptakan senyum dan tawa di dalam rumah. Bagimu yang merantau, pulanglah sejenak :’), mintalah doa dari keluarga. Dengan teman kerja, cobalah sesekali bantu dia atau makan bersama agar lebih dekat. Kali aja kan dia bisa kasih saran untuk skripsi, hehe.

Kemudian yang kedua adalah membangun support system dari hubungan yang baru tercipta. Yaitu teman satu bimbingan dan dosen pembimbing. Usahakan untuk memberi dukungan dan kerjasama terbaik yang bisa kamu lakukan. Misalnya, kamu bisa buatkan Google Drive yang berisi e-book yang kamu gunakan sebagai referensi. Berbagi! Jangan pelit, hehe. Untuk kamu yang punya kelebihan bahasa Inggris, tawarkan teman-temanmu untuk membantu mereka mengecek abstract mereka nanti (abstract adalah ringkasan skripsi dengan 2 bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). 

Untukmu yang tahu kesulitan temanmu, luangkan waktumu untuk membantunya, dll. Kebaikan yang kamu sebarkan akan menggerakkan mereka untuk saling berbuat baik, sehingga terciptalah hubungan yang harmonis, perjuangan yang sehat dan support system yang kuat.

Tapi ingat, berikan bantuan dengan batasan. Ingat bahwa masing-masing tetap harus berjuang. Biarkan mereka berjuang dan kamu pun berjuang. Jangan berikan ruang untuk meg-copy-paste hasil kerjamu. Dan jangan juga meng-copy-paste hasil kerja mereka. Memberi dukungan dengan sehat, bukan malah membuat cacat :) saling menghargai satu sama lain, ya. O ya, kalaupun menolak, tolaklah dengan bahasa yang halus serta emoticon senyum (kalau via chat).

Support system dengan dosen pembimbing pun harus dibangun. Dengan bersikap sopan, menjaga kehormatan dosen (dengan tidak membicarakan kekurangan atau keburukan dosen di belakang pada teman satu bimbingan atau dengan siapapun), berkomunikasi dengan baik, dan ketahui batasan-batasan dalam bersikap. Ingat, selain bimbingan, ada ridha yang kita harapkan dari beliau. Untuk keberkahan ilmu kita nantinya.

4. Berjuang dengan cara yang tepat

Seberapa banyak dari kita yang tertekan saat skripsi? Banyak. Diriku? Salah satunya. Aku juga sempat merasa down saat sempat ditegur karena ketika seminar proposal dilaksanakan, aku malah sedang di universitas orang, TU Delft, Belanda. yang lain sempro, aku jalan-jalan (ini yang dipikirkan orang-orang, kenyataannya, salah dan juga benar. Salah, karena ada hal penting yang aku kerjakan di sana, tapi juga benar karena memang jalan-jalan juga sih hehe.) Dasar aku, UTS sering susulan, UAS juga sama, ujikom bahkan sampai sempro pun susulan -_- ini, asli jangan ditiru. Sebagai “mahasiswa kura-kura” sekaligus “mahasiswa kuda-kuda”, itulah resiko yang aku ambil. 

Aku juga ingat bagaimana aku tak kunjung mengerti proses analisa kuantitatif dengan data yang hmmm, banyak! Atau ketika harus berlelah-lelah dengan harus kesana kemari, teman-teman yang sudah sampai mana, aku baru sampai mana. Revisi yang seakan tidak ada akhirnya, uang yang keluar untuk ini dan itu, masalah di luar skripsi, dll.

Apa aku menyerah? hampir. Tapi, support system tadi yang sangat membantu, Allah selalu saja memberikan bantuan-Nya. Apa aku mengeluh? Ya. Tapi keluhan yang kusampaikan banyaknya di atas sajadah, di kala orang-orang terjaga, bukan pada manusia, tapi di hadapan-Nya. Hanya ketenangan yang aku hadirkan di permukaan. Tidak ada drama-drama lewat story instagram atau snap WhatsApp. Bahkan temanku sempat bertanya “Han, kok bisa setenang ini?”, tidak lain karena aku terus bersandar pada-Nya. 

Hanya segelintir orang yang tahu bagaimana posisiku ketika ada di titik yang cukup berat. Dan mereka, bukan hanya berkata “sabar ya Han”, tapi lewat merekalah diskusi yang menghasilkan solusi tercipta. Aku sadar betul, bahwa tidak ada gunanya berkutat dengan masalah tanpa pencarian pemecahannya. 

5. Semua tentang mentalitas dan kualitas.

Ingatlah bahwa bukan hanya skripsi yang terpajang yang akan dikenang, atau ijazah yang mengantarkan sebagian dari kita pada ijab-sah. 

Tapi tentang perjuangan dari kuatnya kita melawan kemalasan dan penundaan di titik terlemah diri kita. 
Tentang perjuangan sisi positif kita yang berhasil mengalahkan sisi negatif kita. 

Tentang diri kita yang tidak manja, tidak mengenal kata putus asa apalagi sampai menjadikannya bagaikan drama Korea yang tidak ada romantis-romantisnya. 

Tentang kita yang berupaya mempertahankan data dan hasil analisa di depan dosen penguji yang sengaja ‘menguji’ dengan berusaha mematahkan kita dari segala arah.

Tentang kita yang pada akhirnya mungkin merasa tidak percaya bahwa akhirnya kita bisa setelah jatuh dengan rasa sakit yang luar biasa.

Pada akhirnya, mentalitas kita tertempa setelah sebegitu hebatnya badai menerpa. 

Dan ini soal kualitas, bukan kuantitas. Mungkin sebagian dari kita tahu bahwa belum lama ini ada satu dua mahasiswa yang berhasil membuat skripsi beribu-ribu halaman hingga viral. Tapi, tahukah kita, Chandra Natadipurba, penulis buku Ekonomi Islam yang buku-bukunya begitu luar biasa, saat menamatkan pendidikan di Universitas Padjajaran, ia menulis skripsi hanya 29 halaman dan lulus sebagai lulusan terbaik? Aku tidak mengatakan bahwa mereka yang membuat skripsi dengan kuantitas halaman yang banyak tidak berkualitas. Tidak! Hanya saja, aku ingin mengingatkan bahwa kualitas tidak melulu berbanding lurus dengan kuantitas. Semua kembali lagi pada kita, sang peneliti.  

Mentalitas dan kualitas inilah yang akan menjadi bagian dari modal kita dalam menjalani perjuangan jilid berikutnya di tangga kehidupan yang berbeda. Karenanya, pastikan kamu menang dalam perjuangan ini!

6. Mantra penyemangat

Ibu Altatit Dianawati, S.Si., M.M., salah satu dosen inspiratifku di kampus. Beliau sempat memberikan ‘mantra’ penyemangat yang memiliki kekuatan hebat. Sebuah kalimat yang membuat orang-orang golongan darah A (aku) dan orang-orang perfeksionis (bukan aku) merasakan terkurangi beban pengerjaan skripsi yang ada di pundak. Mereka yang selama ini punya standar tinggi tentang a,b,c dll dalam pengerjaan skripsi pun menjadi lebih tenang setelah mendengarnya. Yaitu:

“Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai”

Bagaimanapun jalan lurus nan mulus akhirnya harus berbelok. Judul yang harus diubah, revisi yang membalikkan arah, musibah yang membuat gerah, kekhawatiran yang membuat resah, dan perubahan sana sini yang membuat jengah pada akhirnya berjung pada kalimat ‘alhamdulillaah’ untuk langkah yang semoga membawa berkah.

Aku, Siti Rahmah Hanifa atau dari @srhanifa akhirnya selesai pada catatan panjang ini. Semangat untukmu pejuang toga! 

Barakallah fii Ilmik!
Titip doa untukku juga ya :)

0 komentar:

Posting Komentar